A. Mu’āmalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal
yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara
dalam fiqh Islam berarti tukarmenukar barang atau sesuatu yang
memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa,
upah-mengupah, pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha
lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli,
sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal
di antaranya seperti berikut:
1. Tidak boleh
mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak boleh melakukan
kegiatan riba.
3. Tidak boleh dengan
cara-cara ẓālim (aniaya).
4. Tidak boleh mempermainkan
takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak boleh dengan
cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak boleh melakukan
transaksi jual-beli barang haram.
B. Macam-Macam Mu’āmalah
1. Jual-Beli
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan
tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan
jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:
Artinya: “...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba....” (Q.S. al-Baqarah: 275).
Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat
besar nilainya, dan agar tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’ãnmenyarankan
agar dicatat, dan ada saksi.
a. Syarat-Syarat
Jual-Beli
Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang
jual-beli adalah sebagai berikut.
1) Penjual dan pembelinya
haruslah:
a) Ballig.
b) Berakal sehat.
c) Atas kehendak sendiri.
2) Uang dan barangnya
haruslah:
a) Halal dan suci. Haram
menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala, termasuk lemak bangkai
tersebut.
b) Bermanfaat. Membeli
barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau
pemboros.
c) Keadaan barang dapat
diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahterimakan.
Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang yang sedang dijadikan jaminan
sebab semua itu mengandung tipu daya.
d) Keadaan barang diketahui
oleh penjual dan pembeli.
e) Milik sendiri.
3) Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini
dengan harga sekian.”Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan
demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.”(HR.
Ibnu Hibban)
b. Khiyār
1) Pengertian Khiyār
Khiyār adalah bebas memutuskan antara meneruskan
jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyār karena
jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit
pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli
berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. Rasulullah saw.
bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum
berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan keadaan
(barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya
menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus
keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2) Macam-Macam Khiyār
a) Khiyār Majelis, adalah
selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya
transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan
jual-beli. Rasulullah saw. bersabda, “Dua orang yang berjual-beli, boleh
memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
b) Khiyār Syarat, adalah
khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual
mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar
tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk
memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila
pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu (dalam masakhiyār)
tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang
lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut
menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw. bersabda kepada seorang
lelaki, “Engkau boleh khiyār pada segala barang yang engkau beli selama
tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
c) Khiyār Aibi (cacat),
adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat
yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya
dilakukan sesegera mungkin.
c. Ribā
1) Pengertian Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran
barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan
pinjam-meminjam.
Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram.
Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan
bahwa, "Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang
mewakilkan,orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR.
Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya
sebagai saksi, terkena dosanya juga.
Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang
sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a) sama timbangan
ukurannya.
b) dilakukan serah terima
saat itu juga.
c) secara tunai.
Namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu
juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan
beras, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.
2) Macam-Macam Ribā
a) Ribā Faḍli, adalah
pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas
22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya
itulah yang termasuk riba.
b) Ribā Qorḍi, adalah
pinjammeminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya.
Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia
mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c) Ribā Yādi, adalah akad
jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli
berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang
masih di dalam tanah.
d) Ribā Nasi’ah, adalah akad
jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli
buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah
besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau,
tetapi diserahkan setelah panen.
2. Utang-piutang
a. Pengertian
Utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada
seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja
dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari
harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti
menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.
b. Rukun Utang-piutang
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
1) yang berpiutang dan
yang berutang
2) ada harta atau barang
3) Lafadz kesepakatan.
Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang menjawab, “Ya,
saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah
punya akan saya lunasi.”
Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt.
menyarankan agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada
waktunya karena kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran. “Dan
jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai
dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah: 280).
Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan
atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal
bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang.
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang
sebaik-baiknya ketika membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra.
berkata, ”Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan
hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw.
Bersabda ,”Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat
membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian
dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya,
hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk
riba. Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat
maka ia semacam dari beberapa macam ribā.” (HR. Baihaqi).
3. Sewa-menyewa
a. Pengertian
Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah,
artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya.
Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijārah dalam firman Allah Swt.:
Artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut...” (Q.S. al-Baqarah: 233).
Artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka...”(Q.S. aṭ-Ṭalāq: 6)
b. Syarat dan Rukun
Sewa-menyewa
1) Yang menyewakan dan
yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2) Sewa-menyewa
dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3) Barang tersebut
menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4) Ditentukan barangnya
serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5) Manfaat yang akan
diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah
pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah rumah. Si penyewa harus
menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan, apakah rumah tersebut
mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si pemilik rumah akan
mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan rumah antara
dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai gudang.
Demikian pula jika barang yang disewakan itu mobil, harus dijelaskan
dipergunakan untuk apa saja.
6) Berapa lama
memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7) Harga sewa dan cara
pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah
diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1) Jenis pekerjaan dan
jam kerjanya.
2) Berapa lama masa
kerja.
3) Berapa gaji dan
bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
4) Tunjangan-tunjangan
seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.
C. Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah
suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
a. Rukun dan
Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga,
yaitu seperti berikut:
1) Dua belah pihak yang
berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki
kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf(pengelolaan harta).
2) Objek akad yang
disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun
syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkahharus halal dan
diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3) Akad atau yang disebut
juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat sah akad harus berupa taṡarruf,
yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
b. Macam-Macam Syirkah
Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah
`inān, syirkah ‘abdān, syirkah wujūh, dan syirkah mufāwaḍah.
1) Syirkah ‘Inān
Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak
atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal).
Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
Contoh syirkah ‘inān: A dan B sarjana teknik komputer.
A dan B sepakat menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka pusatservice dan
penjualan komponen komputer. Masing-masing memberikan kontribusi modal sebesar
Rp10 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang.
Sementara barang seperti rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh
dijadikan modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh
masing-masing syārik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika
masing-masing modalnya 50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
2) Syirkah ‘Abdān
Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau
lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa
kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja
pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang
batu). Syirkahini juga disebut syirkah ‘amal.
Contohnya: A dan B samasama nelayan dan bersepakat melaut
bersama untuk mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan
dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan
B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi
atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah
‘abdān terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun,
disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak
boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang
diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama
di antara syarik (mitra usaha).
3) Syirkah Wujūh
Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada
kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujūh adalah syirkah antara dua pihak yang
sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang
memberikan konstribusi modal (mal).
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang.
Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang
secara kredit. A dan B bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi
dua. Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah
wujūh ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdān
4) Syirkah Mufāwaḍah
Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua
pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di
atas. Syirkah mufāwaḍahdalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab
setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal
sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inān, atau ditanggung pemodal saja
jika berupamufāwaḍah, atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujūh.
Contohnya: A adalah pemodal, berkontribusi modal kepada B
dan C. Kemudian, B dan C juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal
ini, pada awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdān, yaitu ketika B dan C
sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja.
Namun, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud muḍārabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C
sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah
‘inān di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah
wujūh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufāwaḍah.
5) Muḍārabah
Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di
mana pihak pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi
pengelola atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara muḍārabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami
kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat
kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan
atau kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi
keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan,
kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, di mana pengelola mendapatkan 60% dari
keuntungan, pemilik modal mendapat 40% dari keuntungan.
Muḍārabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu muḍārabah muṭlaqah
dan muḍārabah muqayyadah. Muḍārabah muṭlaqah merupakan bentuk kerja sama antara
pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Muḍārabah muqayyadah adalah
kebalikan dari muḍārabah muṭlaqah, yakni usaha yang akan dijalankan dengan
dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
6) Musāqah, Muzāra’ah,
dan Mukhābarah
a) Musāqah
Musāqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan
petani di mana sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan
hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada
waktu akad.
Konsep musāqah merupakan konsep kerja sama yang
saling menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). Tidak
jarang para pemilik lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat
perkebunannya, sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu
luang namun tidak memiliki lahan yang bisa digarap. Dengan adanya sistem kerja
sama musāqah, setiap pihak akan sama-sama mendapatkan manfaat.
b) Muzāra’ah dan Mukhābarah
Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian
antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari
petani. Sementara mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian
antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari
pemilik lahan. Muzāra’ah memang sering kali diidentikkan dengan mukhābarah. Namun
demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzāra’ah,
benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhābarah benihnya
berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk
kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang
sudah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan pembagian persentase tertentu dari hasil panen. Di Indonesia, khususnya
di kawasan pedesaan, kedua model penggarapan tanah itu sama-sama dipraktikkan
oleh masyarakat petani. Landasan syariahnya terdapat dalam hadis dan ijma’ ulama.
D. Perbankan
1. Pengertian Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam
menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem
bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat
yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau
barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh
masyarakat pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut:
a. Bank
Konvensional
Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun
dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan
usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
b. Bank Islam atau
Bank Syari’ah
Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank yang
menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank
konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara
yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut:
1) Muḍārabah, yaitu kerja
sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan
sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Dalam
sistem muḍārabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen
perusahaan.
2) Musyārakah, yakni
kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing sama-sama
memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara
bersama-sama dan menanggung untung ruginya secara bersama-sama pula.
3) Wadi’ah, yakni jasa
penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak
nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah disebutkan di atas
dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk
menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut
sewaktuwaktu pemiliknya memerlukan.
4) Qarḍul hasān, yakni
pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat.
Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo.
Biasanya layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di
bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.
5) Murābahah, yaitu suatu
istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di
mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan
ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual
mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang
hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau
ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank
membelikan atau menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi
dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak
bank harus secara jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.
E. Asuransi Syari’ah
1. Prinsip-Prinsip
Asuransi Syari’ah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang
artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’m³n yang
berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari
perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan
tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.
Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan
dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu
ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan
dan asuransi konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya
seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa
sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah
dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir
buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara
untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko
ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan
individual, melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa
individu tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti
gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat
sesuai dengan semangat ajaran tersebut.
Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di
antaranya berikut ini:
Artinya: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran...” (Q.S. al-Māidah: 2).
Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan umat
Islam untuk saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan.
Berdasarkan ayat al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa
musibah ataupun risiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan
setiap individu menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak
lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya
esensi dari asuransi syari’ah.
2. Perbedaan
Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di
sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko.
Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia
pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’
atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian
asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang
bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana
hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin
mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah,
mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun,
lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang
sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja
yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.
Setidaknya, ada manfaat yang bisa diambil kaum muslimin
dengan terlibat dalam asuransi syari’ah, di antaranya bisa menjadi alternatif
perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi
pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah lebih adil bagi
mereka karena syariah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal.
Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syari’ah.